PENGANGGURAN TERDIDIK SEBAGAI POTRET BURAM PENDIDIKAN
I.
Pendahuluan
Fenonema yang sangat mengherankan dalam pendidikan, Banyak kaum
sarjana, intelektual ataupun akademisi yang seorang pengangguran. Bukankah
mereka adalah tenaga-tenaga profesional yang sedikit banyak mempunyai bekal
pengetahuan, skill dan pengalaman yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang
tidak mengenyam dunia pendidikan.
Memang kuliah atau belajar di perguruan tinggi bukanlah semata-mata
untuk mencari kerja. Ada yang lebih penting dari sekedar kerja atau uang yaitu
ilmu pengetahuan. Sebab ilmu pengetahuan ini merupakan perangkat (shoftware)
kemanusiaan yang bisa mengantarkan seseorang kepada “kesempurnaan.”
Tingginya angka penangguran di kalangan terdidik itu, karena
rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama sebagai sarjana. Padahal, untuk
menjadi lulusan yang siap kerja, keterampilan di luar bidang akademik, terutama
yang berhubungan dengan entrepreneurship (kewirausahawan) sangat dibutuhkan.
Harapan pemerintah untuk para sarjana tentu tinggi yaitu bagaimana
sarjana tersebut mampu mengelola sumber daya alam yang sangat melimpah dan
mampu membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara
keseluruhan. Persoalannya adalah bagaimana sarjana yang nganggur tersebut lebih
kreatif, mempunyai inovasi, berjiwa entreupeneur dan satu lagi jiwa mengabdi
kepada negara.
II.
Rumusan
Masalah
A.
Faktor
penyebab meningkatnya pengangguran terdidik
B.
Solusi
dalam mengatasi pengangguran Terdidik
III.
Pembahasan
A.
Faktor
Penyebab meningkatnya pengangguran terdidik
Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya
pengangguran terdidik adalah sebagai
berikut:
1.
Ketidakcocokkan
antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran
tenaga kerja) dan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga
kerja). Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan,
orientasi status, atau masalah keahlian khusus.
2.
Semakin terdidik
seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman. Golongan
ini menilai tinggi pekerjaan yang stabil daripada pekerjaan yang beresiko
tinggi sehingga lebih suka bekerja pada perusahaan yang lebih besar daripada
membuka usaha sendiri. Hal ini diperkuat oleh hasil studi Clignet (1980), yang
menemukan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia, antara lain
disebabkan adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari resiko. Dengan
demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada
mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
3.
Terbatasnya daya
serap tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup
besar memberi tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang
jumlahnya relatif kecil).
4.
Belum efisiennya
fungsi pasar kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus
informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak
angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Kemudian faktor gengsi juga
menyebabkan lulusan akademi atau universitas memilih menganggur karena tidak
sesuai dengan bidangnya.
5.
Budaya malas juga
sebagai salah satu factor penyebab tingginya angka pengangguran sarjana di
Indonesia.
Selain yang ada
di atas, kebiasaan masyarakat Indonesia yang mempunyai etos kerja rendah
dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat
kemajuan ekonomi bangsa Indonesia yang lebih rendah.
Rendahnya etos
kerja itu juga dipengaruhi oleh tegas atau tidaknya suatu masyarakat dalam
membedakan antara konsep waktu yang ditentukan oleh gejala alam dengan waktu
yang ditentukan oleh ukuran jam. Dalam masyarakat Indonesia pengguanaan waktu
menurut ukuran jam masih merupakan sesuatu yang langka. Umumnya masyarakat
Indonesia lebih suka menggunakan waktu yang bersifat relatife. Seperti, nanti,
sebentar, besok, dll.[1]
Hal ini juga membawa pada etos kerja kita.
C.
Solusi
dalam mengatasi pengangguran Terdidik
1.
Menumbuhkan
Semangat Entrepreneurship
Pengertian entrepreneurship, kata entrepreneur
berasal dari kata dalam bahasa Prancis yang diadopsi dari dua kata dalam bahasa
Latin, yaitu entre dan prende, entre artinya “di antara” dan pendre
yang artinya “mengambil”. Entreprende
berarti seseorang yang mengambil (peluang) di antara (kondisi yang ada).
Dalam bahasa Indonesia kata yang mendekati entrepreneurship adalah
“kewirausahaan”. Jadi Entrepreneurship
adalah segala macam cara yang dilakukan oleh manusia untuk mengelola usaha,
dengan mengubah hal yang biasa menjadi hal yang menguntungkan.[2]
Kewirausahaan (entrepreneurship) bukan merupakan ilmu ajaib yang
mendatangkan uang dalam waktu sekejap, melainkan sebuah ilmu, seni, dan
ketrampilan untuk mengelola semua keterbatasan sumber daya, informasi, dan dana
yang ada guna mempertahankan hidup, mencari nafkah, atau meraih posisi puncak
dalam karir.[3]
Banyak pebisnis muda yang sukses. Namun, tidak bisa dipungkiri ada
banyak pula pebisnis muda yang mengalami stagnasi (bisnis tak berkembang). Oleh
karena hal itu mereka menutup usahanya atau berpindah ke bisnis lain, kemudian
berpindah lagi. Demikian seterusnya dan pada akhirnya bisnis itu pun tutup
juga. Hal inilah yang membuat orang takut menjadi pengusaha dan berfikir
salah/keliru tentang tentang kewirausahaan.
Sejak dini, cara berfikir orang muda perlu dibuka untuk mengetahui
manfaat penting menjadi entrepreneur atau wirausahawan. Jangan sampai ketekunan
belajar di sekolah atau perguruan tinggi hanya mengarahkan pada satu target,
yaitu mencari kerja saja dan titik! Karena begitu sulit mendapatkan pekerjaan
akhirnya ‘dipaksa’ menjadi wirausahawan.
Hal ini yang menyebabkan entrepreneurship di Indonesia nyaris tidak
berkembang. Kenyataan ini didukung pula oleh lwmbaga-lembaga pendidikan strata
universitas top Indonesia yang jarang menerapkan kurikulum berbasis
entrepreneurship. Belum ada konsep yang jelas karena mereka hanya mencomot sana-sini
ilmu yang ada, bukan based on practices, yaitu: think like a
strategic thinker and act like manager.[4]
Dengan pola pikir yang benar tentang entrepreneurship akan
memberikan kesuksesan dalam berbisnis, hal ini menjadi tugas lembaga pendidikan
untuk memberikan pengetahuan yang benar tentang entrepreneurship. Sehingga
mencetak lulusan yang siap untuk terjuan dalam dunia kerja.
Sebagai insan akademik kita diharapkan mampu membaca peluang yang
ada di sekitar kita dengan aktif mencari informasi-informasi, jika peluang itu
tidak ada maka kita diharapkan mampu menciptakan peluang sendiri, salah satunya
dengan belajar mengasah skill kewirausahaan, dan life skill lainnya yang
dapat dijadikan bekal menjalani hidup di masyarakat.
2.
Pendidikan
yang Berorientasi Kemandirian
Secara umum kemandirian berasal dari kata mandiri yang mendapat
tambahan ke-an yang berarti “diperintah oleh dirinya sendiri”. Kemandirian
merupakan sifat dari perilaku mandiri yang merupakan salah satu unsur sikap.
Jadi kemandirian adalah bentuk sikap individu yang tidak terpengaruh terhadap
orang lain.[5]
Dari pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat
kemandirian ialah kemampuan peserta didik membuat keputusan bagi dirinya
sendiri, namun bukan berarti sama dengan kebebasan mutlak melainkan tetap
memperhitungkan semua faktor yang yang relevan dalam menentukan arah tindakan
yang diambil, sebagai tindakan yang terbaik bagi semua yang berkepentingan.
Manusia yang dicita-citakan oleh pendidikan adalah manusia yang
dapat berdiri sendiri. Implikasi yang segera timbul adalah bahwa manusia yang
di cita-citakan harus memiliki skill dan keahlian tertentu.[6]
Adapun ciri-ciri kemandirian diantaranya:
1.
Mengeathui
secara tepat cita-cita yang hendak dicapai
2.
Percaya
diri dan dapat di percaya dan percaya kepada orang lain
3.
Mengetahui
bahwa sukses adalah kesempatan bukan hadiah
4.
Membekali
dengan pengetahuan dan ketrampilan yang berguna
5.
Mensyukuri
nikmat Allah[7]
3.
Memajukan
Masyrakat melalui PLS
Sejatinya penyelenggaraan Gelar Karya PLS (pendidikan luar sekolah)
ini bukan hanya sekedar seremonial belaka. Namun ia merupakan upaya untuk
membangkitkan semangat dan memperkuat komitmen bersama (pemerintah dan
masyarakat) unutk mengembangkan dan melembagakan program PLS. PLS sesungguhnya
memegang pranan penting dan strategis dalam memperluas pelayanan pendidikan
bagi masyarakat yang diarahkan untuk menanggulangi pengangguran dan
mengentaskan masyarakat dari jeratan mata rantai kebodohan, keterbelakangan dan
kemiskinan. Ciri khas PLS yang fleksibel adalah mampu mengadaptasi secara cepat
program-program kependidikan yang dimiliki dengan kebutuhan masyrakat dan pasar
kerja. PLS adalah program kependidikan yang berada dari, oleh dan untuk
masyarakat, yang akrab dengan kebutuhan masyarakat secara luas dan global.[8]
Dari keterangan di atas bahwa beberapa program PLS merupakan salah
satu jalan untuk mengatasi masalah pengangguran, maka program PLS tersebut jika
dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan perguruan tinggi dan dijadikan sebagai
mata kuliah yang harus diambil oleh setiap mahasiswa sebelum lulus, maka hal
ini bisa menjadi satu solusi yang dapat mengurangi pengangguran terdidik, sebab
jika kita melihat pendidikan perguruan tinggi kita ini memang belum ada program
PLS tersebut. dengan dimasukannya program PLS tersebut diharapakan mahasiswa
memiliki skill tambahan yang orientasinya memang langsung ke lapangan
pekerjaan, sehingga ketika mahasiswa lulus dari kuliah dan tidak langsung
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya, maka skill tambahan
tersebut dapat dijadikan untuk membuka usaha sendiri sebelum mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya.
D.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa beberapa
factor adanya pengangguran terdidik. Ketidakcocokkan antara
karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga
kerja) dan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga kerja).
Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi
status, atau masalah keahlian khusus. Semakin terdidik seseorang, semakin besar
harapannya pada jenis pekerjaan yang aman dan keinginan memilih pekerjaan yang
aman dari resiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih
menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan
mereka. Terbatasnya daya serap tenaga kerja di sektor formal, belum efisiennya
fungsi pasar kerja. Budaya malas juga sebagai salah satu factor penyebab
tingginya angka pengangguran sarjana di Indonesia dan etos kerja yang rendah.
Untuk mengurangi masalah pengangguran terdidik ada beberapa tawaran diantaranya
yaitu, menumbuhkan semangat jiwa
entrepreneurship, meningkatkan etos kerja, pendidikan yang berorientasi
kemandirian, dan melalui PLS.
E.
Penutup
Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam makalah ini maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaikan makalah selanjutnya, semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita.
DAFTAR PUSTAKA
Sairin, Sjafri.
Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Lensufiie,
Tikno Leadership Untuk Profesional dan Mahasiswa. Jakarta. Erlangga
Group. 2010.
Hendro. Dasar-Dasar
Kewirausahaan. Jakarta: Erlangga. 2011.
Thoha, Chabib. Kapita
Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1996.
Amnur, Ali
Muhdi. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka
Fahima. 2007.
Nawawi, Hadari.
Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1993.
Fajar, A. Malik. Holistik Pemikiran Pendidika.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.
[1]
Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 327-328
[2]
Tikno Lensufiie, Leadership Untuk Profesional dan Mahasiswa, (Jakarta,
Erlangga Group,2010), hlm. 224
[3]
Hendro, Dasar-Dasar Kewirausahaan, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 6
[4]
Hendro, Dasar-Dasar Kewirausahaan, hlm. 9
[5]
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 1996), hlm. 121
[6]
Ali Muhdi Amnur, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yoyaakarta:
Pustaka Fahima, 2007), hlm. 60
[7]
Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm.
340
[8]
A. Malik Fajar, Holistik Pemikiran Pendidika, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 305-306
Tidak ada komentar:
Posting Komentar