Jumat, 04 Januari 2013

sosiologi antropologi


PENGANGGURAN TERDIDIK SEBAGAI POTRET BURAM PENDIDIKAN
I.              Pendahuluan
Fenonema yang sangat mengherankan dalam pendidikan, Banyak kaum sarjana, intelektual ataupun akademisi yang seorang pengangguran. Bukankah mereka adalah tenaga-tenaga profesional yang sedikit banyak mempunyai bekal pengetahuan, skill dan pengalaman yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang tidak mengenyam dunia pendidikan.
Memang kuliah atau belajar di perguruan tinggi bukanlah semata-mata untuk mencari kerja. Ada yang lebih penting dari sekedar kerja atau uang yaitu ilmu pengetahuan. Sebab ilmu pengetahuan ini merupakan perangkat (shoftware) kemanusiaan yang bisa mengantarkan seseorang kepada “kesempurnaan.”
Tingginya angka penangguran di kalangan terdidik itu, karena rendahnya keterampilan di luar kompetensi utama sebagai sarjana. Padahal, untuk menjadi lulusan yang siap kerja, keterampilan di luar bidang akademik, terutama yang berhubungan dengan entrepreneurship (kewirausahawan) sangat dibutuhkan.
Harapan pemerintah untuk para sarjana tentu tinggi yaitu bagaimana sarjana tersebut mampu mengelola sumber daya alam yang sangat melimpah dan mampu membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan. Persoalannya adalah bagaimana sarjana yang nganggur tersebut lebih kreatif, mempunyai inovasi, berjiwa entreupeneur dan satu lagi jiwa mengabdi kepada negara.

II.           Rumusan Masalah
A.    Faktor penyebab meningkatnya pengangguran terdidik
B.     Solusi dalam mengatasi pengangguran Terdidik

III.        Pembahasan
A.    Faktor Penyebab meningkatnya pengangguran terdidik
Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya pengangguran terdidik adalah sebagai berikut:
1.      Ketidakcocokkan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga kerja) dan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga kerja). Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status, atau masalah keahlian khusus.
2.      Semakin terdidik seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman. Golongan ini menilai tinggi pekerjaan yang stabil daripada pekerjaan yang beresiko tinggi sehingga lebih suka bekerja pada perusahaan yang lebih besar daripada membuka usaha sendiri. Hal ini diperkuat oleh hasil studi Clignet (1980), yang menemukan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia, antara lain disebabkan adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari resiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
3.      Terbatasnya daya serap tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan yang kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil).
4.      Belum efisiennya fungsi pasar kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Kemudian faktor gengsi juga menyebabkan lulusan akademi atau universitas memilih menganggur karena tidak sesuai dengan bidangnya.
5.      Budaya malas juga sebagai salah satu factor penyebab tingginya angka pengangguran sarjana di Indonesia.

Selain yang ada di atas, kebiasaan masyarakat Indonesia yang mempunyai etos kerja rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kemajuan ekonomi bangsa Indonesia yang lebih rendah.
Rendahnya etos kerja itu juga dipengaruhi oleh tegas atau tidaknya suatu masyarakat dalam membedakan antara konsep waktu yang ditentukan oleh gejala alam dengan waktu yang ditentukan oleh ukuran jam. Dalam masyarakat Indonesia pengguanaan waktu menurut ukuran jam masih merupakan sesuatu yang langka. Umumnya masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan waktu yang bersifat relatife. Seperti, nanti, sebentar, besok, dll.[1] Hal ini juga membawa pada etos kerja kita.

C.     Solusi dalam mengatasi pengangguran Terdidik
1.      Menumbuhkan Semangat Entrepreneurship
Pengertian entrepreneurship, kata entrepreneur berasal dari kata dalam bahasa Prancis yang diadopsi dari dua kata dalam bahasa Latin, yaitu entre dan prende, entre artinya “di antara” dan pendre yang artinya “mengambil”.  Entreprende berarti seseorang yang mengambil (peluang) di antara (kondisi yang ada). Dalam bahasa Indonesia kata yang mendekati entrepreneurship adalah “kewirausahaan”. Jadi  Entrepreneurship adalah segala macam cara yang dilakukan oleh manusia untuk mengelola usaha, dengan mengubah hal yang biasa menjadi hal yang menguntungkan.[2]
Kewirausahaan (entrepreneurship) bukan merupakan ilmu ajaib yang mendatangkan uang dalam waktu sekejap, melainkan sebuah ilmu, seni, dan ketrampilan untuk mengelola semua keterbatasan sumber daya, informasi, dan dana yang ada guna mempertahankan hidup, mencari nafkah, atau meraih posisi puncak dalam karir.[3]
Banyak pebisnis muda yang sukses. Namun, tidak bisa dipungkiri ada banyak pula pebisnis muda yang mengalami stagnasi (bisnis tak berkembang). Oleh karena hal itu mereka menutup usahanya atau berpindah ke bisnis lain, kemudian berpindah lagi. Demikian seterusnya dan pada akhirnya bisnis itu pun tutup juga. Hal inilah yang membuat orang takut menjadi pengusaha dan berfikir salah/keliru tentang tentang kewirausahaan.
Sejak dini, cara berfikir orang muda perlu dibuka untuk mengetahui manfaat penting menjadi entrepreneur atau wirausahawan. Jangan sampai ketekunan belajar di sekolah atau perguruan tinggi hanya mengarahkan pada satu target, yaitu mencari kerja saja dan titik! Karena begitu sulit mendapatkan pekerjaan akhirnya ‘dipaksa’ menjadi wirausahawan.
Hal ini yang menyebabkan entrepreneurship di Indonesia nyaris tidak berkembang. Kenyataan ini didukung pula oleh lwmbaga-lembaga pendidikan strata universitas top Indonesia yang jarang menerapkan kurikulum berbasis entrepreneurship. Belum ada konsep yang jelas karena mereka hanya mencomot sana-sini ilmu yang ada, bukan based on practices, yaitu: think like a strategic thinker and act like manager.[4]
Dengan pola pikir yang benar tentang entrepreneurship akan memberikan kesuksesan dalam berbisnis, hal ini menjadi tugas lembaga pendidikan untuk memberikan pengetahuan yang benar tentang entrepreneurship. Sehingga mencetak lulusan yang siap untuk terjuan dalam dunia kerja. 
Sebagai insan akademik kita diharapkan mampu membaca peluang yang ada di sekitar kita dengan aktif mencari informasi-informasi, jika peluang itu tidak ada maka kita diharapkan mampu menciptakan peluang sendiri, salah satunya dengan belajar mengasah skill kewirausahaan, dan life skill lainnya yang dapat dijadikan bekal menjalani hidup di masyarakat.

2.      Pendidikan yang Berorientasi Kemandirian
Secara umum kemandirian berasal dari kata mandiri yang mendapat tambahan ke-an yang berarti “diperintah oleh dirinya sendiri”. Kemandirian merupakan sifat dari perilaku mandiri yang merupakan salah satu unsur sikap. Jadi kemandirian adalah bentuk sikap individu yang tidak terpengaruh terhadap orang lain.[5]
Dari pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat kemandirian ialah kemampuan peserta didik membuat keputusan bagi dirinya sendiri, namun bukan berarti sama dengan kebebasan mutlak melainkan tetap memperhitungkan semua faktor yang yang relevan dalam menentukan arah tindakan yang diambil, sebagai tindakan yang terbaik bagi semua yang berkepentingan.
Manusia yang dicita-citakan oleh pendidikan adalah manusia yang dapat berdiri sendiri. Implikasi yang segera timbul adalah bahwa manusia yang di cita-citakan harus memiliki skill dan keahlian tertentu.[6]  
Adapun ciri-ciri kemandirian diantaranya:
1.      Mengeathui secara tepat cita-cita yang hendak dicapai
2.      Percaya diri dan dapat di percaya dan percaya kepada orang lain
3.      Mengetahui bahwa sukses adalah kesempatan bukan hadiah
4.      Membekali dengan pengetahuan dan ketrampilan yang berguna
5.      Mensyukuri nikmat Allah[7]

3.      Memajukan Masyrakat melalui PLS
Sejatinya penyelenggaraan Gelar Karya PLS (pendidikan luar sekolah) ini bukan hanya sekedar seremonial belaka. Namun ia merupakan upaya untuk membangkitkan semangat dan memperkuat komitmen bersama (pemerintah dan masyarakat) unutk mengembangkan dan melembagakan program PLS. PLS sesungguhnya memegang pranan penting dan strategis dalam memperluas pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang diarahkan untuk menanggulangi pengangguran dan mengentaskan masyarakat dari jeratan mata rantai kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Ciri khas PLS yang fleksibel adalah mampu mengadaptasi secara cepat program-program kependidikan yang dimiliki dengan kebutuhan masyrakat dan pasar kerja. PLS adalah program kependidikan yang berada dari, oleh dan untuk masyarakat, yang akrab dengan kebutuhan masyarakat secara luas dan global.[8]
Dari keterangan di atas bahwa beberapa program PLS merupakan salah satu jalan untuk mengatasi masalah pengangguran, maka program PLS tersebut jika dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan perguruan tinggi dan dijadikan sebagai mata kuliah yang harus diambil oleh setiap mahasiswa sebelum lulus, maka hal ini bisa menjadi satu solusi yang dapat mengurangi pengangguran terdidik, sebab jika kita melihat pendidikan perguruan tinggi kita ini memang belum ada program PLS tersebut. dengan dimasukannya program PLS tersebut diharapakan mahasiswa memiliki skill tambahan yang orientasinya memang langsung ke lapangan pekerjaan, sehingga ketika mahasiswa lulus dari kuliah dan tidak langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya, maka skill tambahan tersebut dapat dijadikan untuk membuka usaha sendiri sebelum mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya.  

D.           Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa beberapa factor adanya pengangguran terdidik. Ketidakcocokkan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga kerja) dan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga kerja). Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status, atau masalah keahlian khusus. Semakin terdidik seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman dan keinginan memilih pekerjaan yang aman dari resiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Terbatasnya daya serap tenaga kerja di sektor formal, belum efisiennya fungsi pasar kerja. Budaya malas juga sebagai salah satu factor penyebab tingginya angka pengangguran sarjana di Indonesia dan etos kerja yang rendah. Untuk mengurangi masalah pengangguran terdidik ada beberapa tawaran diantaranya yaitu,  menumbuhkan semangat jiwa entrepreneurship, meningkatkan etos kerja, pendidikan yang berorientasi kemandirian, dan melalui PLS.

E.            Penutup
Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya, semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita.

DAFTAR PUSTAKA
Sairin, Sjafri. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Lensufiie, Tikno Leadership Untuk Profesional dan Mahasiswa. Jakarta. Erlangga Group. 2010.
Hendro. Dasar-Dasar Kewirausahaan. Jakarta: Erlangga. 2011.
Thoha, Chabib. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1996.
Amnur, Ali Muhdi. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Fahima. 2007.
Nawawi, Hadari. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1993.
Fajar,  A. Malik. Holistik Pemikiran Pendidika. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.




[1] Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 327-328
[2] Tikno Lensufiie, Leadership Untuk Profesional dan Mahasiswa, (Jakarta, Erlangga Group,2010), hlm. 224
[3] Hendro, Dasar-Dasar Kewirausahaan, (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 6
[4] Hendro, Dasar-Dasar Kewirausahaan, hlm. 9
[5] Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 121
[6] Ali Muhdi Amnur, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yoyaakarta: Pustaka Fahima, 2007), hlm. 60
[7] Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm. 340
[8] A. Malik Fajar, Holistik Pemikiran Pendidika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 305-306

Tidak ada komentar:

Posting Komentar