Kamis, 15 September 2011

nilai-nilai pendidikan karakter

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

I.          PENDAHULUAN
Dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]

II.          RUMUSAN MASALAH
A.  Pendidikan Karakter (Moral, Nilai, Agama dan kewarganegaraan)
B.  Nilai-nilai dalam pendidikan karakteristik

III.          PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Karakter (Moral, Nilai, Agama dan Kewarganegaraan)
Apakah pendidikan karakter sama dengan pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan? Kalau sama, di mana letak kesamaannya? Kalau beda di mana letak perbadaannya?. Pendidikan karakter, pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan merupakan lima konsep yang berbeda. Mungkin yang membuat ke lima konsep itu sama adalah kata “pendidikan”. Semua mengacu pada sebuah proses yang sama, yaitu “pendidikan”. Sebagai kegiatan mendidik, secara umum kelima konsep di atas sama-sama membantu siswa bertumbuh secara lebih matang dan kaya, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial dalam konteks kehidupan bersama. Yang membedakan kelima konsep di atas adalah materi atau isi pendidikan.
Prilaku moral bisa ditentukan melalui tiga tahap perkembangan. Pertama, adanya rasa tekanan dari pihak luar. Kedua, adanya tekanan dari luar ini membuat seorang individu memiliki sikap tunduk terhadap otoritas di laur dirinya. Sikap ini menjadi sarana bertahan agar agar ia tetap eksis di dalam masyarakat. Ketiga, merupakan afirmasi diri,  di sini individu memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan moral bagi diri sendiri sehingga ia mampu memaknai tindakannya secara bebas, tidak terpengaruh oleh intimidasi di luar dirinya atau terpaksa melakukan karena sudah ditentukan oleh hukum ilahi.
Yang membedakan antara pendidikan moral dan pendidikan karakter adalah ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil keputusan. Dalam pendidikan moral, ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang. Keputusan inilah yang menentukan proses pendefinisian dirinya sendiri apakah ia sebagai manusia itu menjadi manusia yang baik atau yang buruk. Dalam pendidikan karakter, ruang lingkup pengambilan keputusan terdapat dalam diri individu, namun keputusan keputusan dalam lembaga pendidikan melibatkan struktur dan relasi kekuasaan. Oleh karena itu, pendidikan karakter selain bertujuan menegakkan kemartabatan pribadi sebagai individu, ia juga memiliki konsekuensi kelembagaan, yang keputusannya tampil dalam kinerja dan kebijakan kelembagaan pendidikan.
 Mengenai pendidikan karakter dan pendidikan moral, maka harus mengaikat pendidikan nilai. Pendidikan nilai yang perlu diklarifikasikan adalah sistem nilai individu. Sedang dalam pendidikan karakter, yang perlu diklarifikasikan adalah sistem nilai individu dan kelompok, yang biasanya tercermin dalam relasi kekuasaan yang sifatnya politis. Nilia merupakan kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dan dihargai sehingga dapat menjadi semacam objek bagi kepentingan tertentu.
Pendidikan karakter mempersyaratkan adanya pendidikan moral dan pendidikan nilai. Pendidikan moral menjadi agenda utama pendidikan karakter sebab pada gilirannya seorang yang berkarakter adalah seorang individu yang mampu mengambil keputusan dan bertindak secara bebas dalam kerangka kehidupan pribadi maupun komunitas yang semakin mengukuhkan keberadaan dirinya sebagai manusia yang bermoral.
Agama merupakan sebuah fondasi yang kokoh, kemartabatannya paling luhur, kekayaan paling tinggi, dan sumber kedamaian manusia paling dalam. Manusia yang beragama mempersatukan dirinya dengan realitas terakhir yang lebih tinggi, yaitu Allah sang pencipta, yang menjadi fondasi kehidupan mereka.
Keyakinan agama bersifat sportif, keyakinan agama seseorang membantunya dalam menghayati nilai-nilai moral. Nilai-nilai agama mempertegas dan memperkokoh keyakinan moral seseorang dengan memberinya dasar yang lebih kokoh dan tak tergoyahkan.
Dalam arti sempit, pendidikan karekter lebih dekat maknanya dengan pendidikan kewarganegaraan, sebab, pendidikan karakter berurusan bukan hanya dengan pengembangan nilai-nilai moral dalam diri individu, malainkan juga memperhatikan corak relasional antarindividu dalam relasinya dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya.
Untuk menjaga agar akar pertumbuhan pendidikan karakter ini sesuai dengan kultur individu yang ada, pendidikan karakter memiliki dimensi polotis-kultural yang sangat tinggi. Dimensi ini mengandung arti bahwa pendidikan karakter, agar dapat membantu mengembangkan kehidupan moral individu, memperkokoh keyakinan agama, dan untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang stabil di tengah kebhinnekaan, memerlukan adanya nilai-nilai demokratis yang membuat individu itu mampu terlibat aktif-kritis dalam kehidupan politik yang tujuan umumnya demi kesejahteraan bersama.[2]

B.     Nilai-Nilai Dalam Pendidikan Karakteristik
Ada beberapa kriteria nilai yang bisa menjadi bagian dalam kerangka pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah. Nilai ini diambil sebagai garis besarnya saja, sifatnya terbuka masih bisa ditambahkan nilai-nilai lain yang relevan dengan situasi kelembagaan pendidikan tempat setiap individu bekerja. Nilai-nilai itu antara lain:
Nilai keutamaan. Manusia memiliki keutamaan kalau ia menghayati dan melaksanakan tindakan-tindakan yang utama, yang membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam konteks yunani kuno, misalnya, nilai keutamaan ini tampil dalam kekuatan fisik dan moral. Kekuatan fisik di sini berarti ekselensi, kekuatan, keuletan, dan kemurahan hati. Sementara keutamaan moral berarti barani mengambil resiko atas pilihan hidup konsisten, dan setia.[3]
Nilai keindahan, pada masa lalu nilai keindahan ini ditafsirkan terutama pada keindahan fisik. Berupa hasil karya seni, patung, bangunan, sastra, dll. Nilai keindahan dalam tataran yang lebih tinggi menyentuh dimensi interioritas manusia itu sendiri yang menjadi penentu kualitas dirinya sebagai manusia.
Nilai kerja, jika ingin berbuat adil manusia harus berbuat adil, manusia harus bekerja. Inilah prinsip dasar keutamaan Hesiodian. Penghargaan atas nilai kerja inilah yang menentukan kualitas diri seorang individu. Menjadi manusia utama adalah manusia yang bekerja. Untuk itu butuh kesabaran, ketekunan dan jerih payah.[4]  
Peserta didik harus dilatih untuk mampu bekerja keras. Bukan hanya mampu bekerja keras, tetapi juga mampu bekerja cerdas, ikhlas, dan tuntas. Dengan begitu kerja keras yang dilakukannya akan bernilai ibadah di mata Tuhan pemilik langit dan bumi. Orang yang senang bekerja keras pastilah akan menuai kesuksesan dari apa yang telah dikerjakannya. Orang yang bekerja keras pasti mampu meujudkan impiannya menjadi kenyataan.[5]
Nilai cinta tanah air (patriotisme), Pemahaman dan penghayatan nilai ini banyak bersumber dari gagasan keutamaan yang diungkapkan oleh Tirteo, “Ideal kepahlawanan homerian tentang arete telah berubah menjadi cita-cita cinta tanah air, dan sang panyair menyerambahi semangat ini dalam diri seluruh warga negara. Pendidikan karakter yang menanamkan niali-nilai patriotisme secara mendalam (bukan chauvinis sempit) tetaplah relevan, mengingat ikatan batin seseorang senantiasa terpaku pada tanah tumpah kelahirannya, dan ibu pertiwi yang membesarkannya.
Nilai demokrasi, nilai demokrasi ini memberikan kesediaan berdiaolog, berunding, bersepakat, dan mengatasi permasalahan dan konflik dengan cara-cara damai, bukan dengan kekerasan, melainkan melalui sebuah dialog bagi pembentukan tata masyarakat yang lebih baik. Kemampuan berunding dalam menengahi konflik, mengutamakan dialog daripada kekerasan senjata. Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi senantiasa menjadi agenda besar pendidikan nilai dalam kerangka pendidikan karakter. Sebab, nilai-nilai inilah yang mempertemukan secara dialogis berbagai macam perbedaan yang ada dalam masyarakat sampai mereka mampu membuat kesepakatan dan konsensus atas hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Kebebasan berfikir dan menyampaikan pendapat, nilai-nilai ini merupakan harga mati bagi dsebuah masyarakat yang demokratis.[6]
Nilai kesatuan, dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, nilai kesatuan ini menjadi dasar pendirian bangsa ini. Apa yang tertulis dalam sila ke 3 Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia, tidak akan dapat dipertahankan jika setiap individu yang menjadi warga Indonesia tidak dapat menghormati perbedaan dan pluralitas yang ada dalam masyarakat kita. Usulan Moh Hatta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta berkaitan dengan kewajiban menjalankan  Syariat Islam bagi pemeluknya dihapus merupakan sebuah ekspresi penting dari nilai kesatuan ini. Hatta menyadari bahwa pluralitas di negeri ini tidak memungkinkan diterapkannya pendekatan dari agama tertentu untuk dicantumkan menjadi dasar negara.
Menghidupi nilai moral, nilai inilah yang oleh Sokrates dilacu sebagai sebuah panggilan untuk merwat jiwa. Jiwa inilah yang menentukan apakah seorang itu sebagai individu merupakan pribadi yang baik atau tidak. Maka, nilai-nilai moral ini sangatlah vital bagi sebuah pendidikan marakter. Tanpa menghormati nilai-nilai moral ini, pendidikan karakter akan bersifat superfisial. Nilai-nilai moral yang berguna dalam masyarakat kita tentunya akan semakin efektif jika nilai ideologi bangsa, yaitu nilai moral dalam pancasila menjadi jiwa bagi setiap pandidikan karakter. Sebab, pancasila merupakan dasae kita. Tanpa penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, bangsa kita berada di ambang kehancuran, dan masyarakat kita yang bhinneka tidak akan merasa sebagai satu kesatuan.
Nilai-nilai kemanusiaan, menghayati nilai-nilai kemanusiaan mengandalkan sikap keterbukaan terhadap kebudayaan lain, termasuk di sini kultur agama dan keyakinan yang berbeda. Nilai-nilai kemanusiaan ini menjadi snagat relevan diterapkan dalam pendidikan karakter karena masyarakat kita telah menjadi masyarakat global. Oleh karena itu, semangat kewarganegaran yang ingin ditanamkan dalam pendidikan karakter pun tidak mencukupi jika hanya berdasarkan batas-batas lokal, negara, yang merupakan patriotisme sempit, melaikan mesti membantu setiap individu untuk dapat hidup secara kompeten sesuai tuntunan masyarakat global, sebuah patriotisme bagi kemanusiaan yang mengatasi batas-batas negara. Nilai-nilai di atas merupakan bagian integral yang bisa dikembangkan dalam pembuatan proyek pendidikan di sekolah.[7] 

C.  KESIMPULAN
Pendidikan karakter mempersyaratkan adanya pendidikan moral, pendidikan moral memiliki dasar tak tergoyahkan jika dipahami dalam konteks keterkaitan individu atas keyakinan imannya. Oleh karena itu, kultur religius sebuah bangsa akan menjadi dasar yang kokoh bagi sebuah pendidikan karakter. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.
Ada beberapa kriteria nilai yang bisa menjadi bagian dalam kerangka pendidikan karakter yang dilaksanakan di sekolah. Nilai ini diambil sebagai garis besarnya saja, sifatnya terbuka masih bisa ditambahkan nilai-nilai lain yang relevan dengan situasi kelembagaan pendidikan tempat setiap individu bekerja. Nilai-nilai itu antara lain: nilai keutamaan, nilai keindahan, nilai kerja, nilai cinta tanah air, nilai demokrasi, nilai kesatuan, menghidupi nilai moral, nilai-nilai kemanusiaan.

D.  PENUTUP
Demikian makalah sebagai tugas tengah semester yang dapat saya buat, apabila dalam pembuatan makalah ini masih terdpat kesalahan, saya sebagai manusia biasa membuka kritik dan saran bagi para pembaca demi perbaikan pembuatan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kita. Amin...  



DAFTAR PUSTAKA

Koesoema A, Doni. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo. 2010
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/


[1] http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/

[2] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 204
[3] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 208
[4] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 209
[6] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm.210
[7] Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 212